Aturan mengenai jenis kelamin sebagai persyaratan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta seharusnya diserahkan kepada Keraton Yogyakarta. Sebab Yogyakarta merupakan daerah istimewa yang harus dihargai keberadaannya oleh negara. Demikian disampaikan Dosen Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto selaku ahli yang diajukan DPD dalam sidang permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY), Rabu (8/2) siang.
Ia menyebut ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m terhadap frasa ‘saudara kandung, istri, dan anak’ sesungguhnya telah memasuki ranah internal kesultanan dan merupakan syarat gender untuk menduduki jabatan publik. Pasal a quo, lanjutnya, melanggar jaminan yang diberikan konstitusi terhadap daerah yang memiliki keistimewaan. Pasal 18 ayat (1) huruf m juga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengakui daerah yang bersifat istimewa berdasarkan hak asal-usul daerah.
“Dalam pengakuan tersebut negara mengukuhkan keistimewaan yang dimiliki oleh daerah tersebut dan tidak mencampurinya,” ujar Aan hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dengan demikian, menurutnya, syarat berupa daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak bersifat subjektif. Aan menyebut, dalam konteks ini seharusnya undang-undang itu tidak masuk ke syarat subjektif. Syarat subjektif seharusnya menjadi kualifikasi atau menjadi persyaratan di internal. “Sehingga akan lebih baik MK menyatakan aturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegasnya.
Sementara, Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdatul Ulama sebagai pihak terkait juga menghadirkan Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM Purwo Santoso selaku ahli. Dalam keterangannya, Purwo menyampaikan bahwa aturan yang diujikan para pemohon merupakan bentuk diskriminasi positif. Ia menjelaskan diskriminasi positif diberikan demi melindungi kearifan lokal yang telah terartikulasi dalam praktik sejarah.
“Praktik-praktik yang menyejarah ini menyimpan suatu kearifan yang teraktualisasi sebagai suatu kesatuan logika. Oleh karena itu, kecerobohan dalam membongkar logika ini bisa membahayakan keistimewaan itu sendiri,” paparnya.
Perkara yang teregistrasi dengan nomor perkara 88/PUU-XIV/2016 ini dimohonkan oleh delapan orang warga Yogyakarta dengan beragam profesi antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat anti diskriminasi hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan ketua komnas perempuan 1998. Dalam permohonannya, Para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY yang mengatur adanya kata “istri” dalam menyerahkan daftar riwayat hidup oleh calon Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki untuk menjadi calon gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut dinilai tidak mencerminkan norma–norma UUD 1945. (LA/lul)